Saturday, October 22, 2005

Korbannya Neolib

Sabtu, 22 Oktober 2005

Tewas dengan Rekomendasi Neolib

SUKO WIDODO

Menarik sekali mengamati polemik Effendi Gazali lewat tulisan Bersama Kita Bisa (Menderita) (Kompas, 10/10/2005) dan tanggapan Menkominfo Sofyan Djalil melalui artikel Harga BBM dan Masa Depan Indonesia” (Kompas, 12/10/2005).

Menurut analisis Komunikasi Partisipatif, jelas Effendi Gazali benar; namun di sisi lain, Menkominfo pun tidak salah. Pak Menteri memang belum pernah menekuni ilmu komunikasi, dan bisa jadi, saat ini Pak Menteri cuma sekadar salah ”masuk kamar” (baca: departemen).

Sebagai seorang pengajar dan peneliti, saya mahfum betul, amat sukar untuk berbicara tentang kekhususan konteks ekonomi, sosial, budaya, dan komunikasi politik suatu negara. Terlebih jika seorang mahasiswa (bahkan sesama kolega dosen dan peneliti) tidak bersungguh-sungguh mendalami hubungan antara ilmu komunikasi dan Teori-teori Kritis atau bahkan pada sisi tertentu Teologi Pembebasan. Tentunya kita maklum pula bahwa Teori- teori Komunikasi Pembangunan dan Advokasi Kontemporer juga dibangun dengan meminjam sana-sini beberapa pilar utama teori-teori tersebut.

Saya bisa membayangkan bahwa Menkominfo mempunyai latar belakang pendidikan yang lengkap: hukum, ekonomi, dan diplomasi (hubungan internasional). Dan kini, langsung atau tidak, dia bergaul atau berada di sekitar para menteri lengkap dengan pakar dan staf ahlinya, yang sebagian besar juga bergelar PhD dengan aliran yang sering disingkat menjadi Neoliberalisme (Neolib).

Memakan korban

Tulisan ini tidak bermaksud mengurai panjang lebar tentang tumbuh dan berkembangnya, serta asumsi-asumsi dasar Neolib. Yang ingin dilihat justru konteks implementasinya yang dilakukan di Indonesia, yang belakangan menurut hemat saya sudah memakan korban yang tidak sedikit, langsung ataupun tidak.

Kenaikan harga BBM Maret dan Oktober ini selalu dihubungkan dengan dua kata sakral harga pasar. Kaum Neolib memang percaya pada legitimasi pasar bahwa pasar bebas adalah prekondisi yang esensial bagi terlaksananya sebuah distribusi yang adil untuk kesejahteraan dan demokrasi politik (lihat Hudson, 1999). Karena penyerahan diri pada peranan pasar itu, maka mereka langsung ataupun tidak meminta pemotongan pengeluaran-pengeluaran publik untuk pelayanan-pelayanan sosial. Atas nama efisiensi yang lebih besar, berbagai BUMN, pengelolaan barang dan jasa, sebaiknya diserahkan pada investor-investor swasta. Kemudian, mereka juga umumnya mengeliminasi konsep the public good atau community dan menggantinya dengan konsep individual responsibility. Tentu setiap orang bisa menekankan sisi keutamaan lain dari Neolib yang dia anggap penting.

Melihat prinsip-prinsip di atas, sekilas tampak bahwa Neolib di Indonesia merupakan varian tersendiri. Lihatlah betapa mereka juga menyediakan Dana Kompensasi Kenaikan Harga BBM bagi masyarakat miskin yang dirancang dengan cermat berdasarkan 14 kriteria menentukan gakin (keluarga miskin). Bahkan mereka bermurah hati untuk menyediakan sekaligus tiga bulan di depan dikalikan Rp 100.000.

Patokannya minyak tanah

Kenaikan minyak tanah yang hampir tiga kali lipat adalah wajah asli Neolib di balik selubung lainnya. Dalam hal ini, Effendi Gazali benar. Tentu pemerintah melalui doktor pemuja pasarnya bisa segera mengatakan, kenaikan minyak tanah itu sudah ditutupi dengan dana kompensasi yang cukup besar tersebut. Lalu dimulailah hitung-hitungan bahwa satu keluarga miskin menghabiskan X liter minyak tanah per bulan sehingga hanya membutuhkan subsidi dari dana kompensasi sebesar Rp 30.000 saja, atau Rp 90.000 per tiga bulan. Mereka lupa bahwa pasar versi mereka tak pernah perfect dan berlaku sama di semua negara.

Kini harga kebutuhan di pasaran sudah melejit jauh di atas hitung-hitungan mereka. Bahkan, pada kenyataannya minyak tanah dijual di pasaran sampai 300 persen dibandingkan dengan harga sebelum BBM dinaikkan (sehingga salah satu pilar hitung-hitungan mereka mestinya sudah roboh). Belum lagi kalau rakyat miskin ternyata lebih tertarik membelanjakan uangnya untuk rokok, baju Lebaran, biaya mudik, dan lain sebagainya. Tentu kaum Neolib bisa mengatakan itulah salahnya kelompok yang tidak cerdas, justru karena itu mereka harus dididik dengan keras oleh patokan harga-harga pasar!

Effendi Gazali, dalam beberapa seminar yang saya ikuti, berulang kali memprediksi, skema kompensasi kenaikan harga BBM dan kriterianya yang tidak dimasyarakatkan dengan baik serta ketergesa-gesaan, sama dengan meletakkan bom waktu di bawah karpet. Sekarang hal itu sudah terbukti dan pemerintah mulai menuai badainya! Jumat lalu (14/10), Warinem (84) dan Wadiman (75) tewas ketika antre pembagian dana kompensasi BBM di Banyuwangi dan Demak. Itu baru ketika antre mengambil uangnya, belum lagi berjuta persoalan salah penilaian, salah kasih kartu, penjualan kartu, penyunatan, dan sebagainya.

Kini tinggal satu harapan pada Presiden SBY, paling tidak seimbangkanlah kombinasi menteri bidang perekonomian dengan mereka yang tidak terlalu atau punya alternatif pemikiran di luar Neolib. Sementara Menkominfo, cobalah bergaul dengan kelompok-kelompok penggerak LSM serta akademisi komunikasi yang membuka wacana Anda lebih luas daripada semua yang diklaim fundamental dalam artikel Anda.

SUKO WIDODO Direktur Pusat Kajian Komunikasi Unair, Mantan Fellow VIP (Visitor International Program) dengan Fokus Demokratisasi Media di AS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/22/opini/2145886.htm

catatan JAKOB SUMARDJO

Sabtu, 22 Oktober 2005

Koruptor dan Politik Konsumtif


Banyak orang tidak suka apabila dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia. Barangkali korupsi memang bukan kebudayaan, namun merajarelanya korupsi itu didasari oleh kebudayaan tertentu.

Kebudayaan tak lain adalah cara berpikir kolektif. Dan cara berpikir kita selama ini adalah konsumtif, bukan produktif. Cara berpikir konsumtif ini sudah kita mulai sejak masa kolonial dulu.

Coba kalau Anda bertemu seorang teman lama, pertanyaannya adalah kerja di mana?. Jadi, kategori bekerja itu selalu berarti menjadi pegawai di mana. Sejak masa kolonial arti bekerja itu ya semacam itu. Kalau Anda membuka usaha sendiri di rumah, dan sukses besar, maka Anda agak malu-malu menyatakan bahwa tidak bekerja. Untuk menutupi harga diri, maka akan dikatakan bahwa Anda wiraswasta. Kata wiraswasta itu sebuah eufimisme untuk menutupi aib budaya kita karena tidak menjadi pegawai di mana pun.

Indonesia itu memang negara pegawai. Meskipun orang hanya menduduki jabatan pegawai paling rendah sekalipun, secara budaya ia menyelamatkan mukanya dari publik. Bahkan orang mau menyogok dengan gaji pegawainya selama satu tahun atau dua tahun, asal diterima sebagai pegawai negeri. Padahal di rumah ia membuka usaha sendiri yang keuntungannya tiap hari mungkin sama dengan satu tahun gaji pegawai negeri rendahan itu.

Pegawai, orang kantoran, pejabat adalah status sosial. Hubungannya dengan karakter konsumtif adalah bahwa setiap bulan akan menerima gaji, entah kerjanya keras, setengah keras, malas-malasan, atau sering mangkir kantor. Semua akan dapat makan sampai akhir bulan. Etos kerja sama sekali tidak ada. Ya, untuk apa, Pak, kerja keras di kantor, gaji kita segitu-segitu saja. Nah, yang namanya etos kerja itu baru muncul kalau ada proyek-proyek, Pak. Kalau ada proyek, kita kerja lembur siang malam, tidak tidur juga mau. Ibaratnya kita bekerja membanting tulang betul-betul.

Masa ketergantungan

Sudah lama kita ini bukan manusia produktif, manusia yang mau kerja keras. Kita sudah lupa pidato-pidato Bung Karno zaman Orde Lama dulu yang menganjurkan bangsanya untuk berdiri di atas kaki sendiri alias berdikar. Karena Bung Karno pernah salah dan orang salah tak perperlu lagi didengarkan pikirannya. Kemandirian kita campakkan dan mulailah masa ketergantungan.

Maunya kita tergantung dari bantuan luar negeri untuk dapat mandiri berdikari. Namun, dasar negara pegawai, maka sikap konsumtif keparat itu tetap saja lekat. Dalam derasnya aliran bantuan dan pinjaman luar negeri, hujan proyek membanjiri kantor-kantor pemerintah. Dan kesibukan luar biasa, kerja lembur sampai pagi, adalah pemandangan umum di mana- mana. Tetapi, kerja keras yang seolah-olah produktif ini sebenarnya konsumtif kuadrat. Mereka kerja keras bukan demi etos kerja keras, tetapi demi proyek. Bagi kantor-kantor yang tidak kebagian proyek, ya bekerja berdasarkan cuaca hati saja, toh sebulannya menerima sejumlah itu saja.

Dilihat secara ini, sebenarnya setiap pegawai di Indonesia berpotensi menjadi koruptor, kecuali yang benar-benar keras imannya, atau mereka yang produktif dengan usaha wiraswastanya sendiri sambil menutupi gengsi sosialnya sebagai pegawai. Golongan terakhir ini akan berpikir, buat apa korupsi kalau penghasilan saya jauh lebih besar dari yang akan saya korup.

Orang konsumtif itu benalu, sukanya mengisap daya hidup yang lain. Orang konsumtif juga resiprokal, menerapkan hukum timbal balik, kalau saya memberi banyak, saya harus memperoleh lebih banyak. Orang konsumtif itu tidak mengenal arti hemat dan menyimpan, kerjanya menghabiskan melulu. Boros. Egoistis. Rasa gengsinya gede. Orang konsumtif tidak mengenal arti solidaritas, paling banter hanya kolektivitas.

Politik konsumtif

Manusia produktif berbalikan dengan karakter-karakter itu. Karena berpikirnya hanya menghasilkan yang lebih banyak, lebih baik, lebih bermutu, maka elan persaingannya bangkit kuat. Orang produktif selalu menawarkan nilai jual. Orang produktif berorientasi produk, dalam arti mau miskin dulu asal kalau kelak berhasil. Orang produktif tentu hemat penuh perhitungan dalam pengeluaran. Boro-boro hidup boros.

Manusia produktif itu pasti mengandalkan pada kemampuan dirinya sendiri. Orang begini belajar tentang hidup terus- menerus. Manusia produktif pasti akan membenci koruptor karena manusia begini yang membikin kapal bocor.

Korupsi di dunia Indonesia ini tidak akan berhenti selama mentalitas konsumtif kita tidak lenyap. Bantuan BBM untuk penduduk miskin adalah politik konsumtif. Seharusnya bantuan BBM itu untuk proyek produktif.

Presiden memang menganjurkan rakyat untuk bekerja keras. Ada dua arti kerja keras di Indonesia, kerja keras konsumtif dan kerja keras produktif. Kerja keras konsumtif itu etos kerja kaum koruptor, membanting tulang siang-malam demi menghabiskan dana proyek. Bahkan kalau tidak ada proyek resmi, mereka kreatif membikin proyek-proyek sendiri. Bagi para pejabat, kreativitas bikin proyek-proyek pribadi atau kolektif ini sering menghasilkan kejutan-kejutan tak terduga.

Kerja keras produktif itu lain lagi. Orang bersedia melarat, miskin, menjuali miliknya, demi modal kerja keras menuju kesuksesan yang masih tanda tanya. Orang produktif meskipun mengandalkan potensi diri, solidaritasnya kuat karena sukses itu tergantung pada konteks. Kerja keras produktif itu hanya mungkin kalau manusia-manusia konsumtif lenyap dari bumi Indonesia.

Bahwa bangsa ini masih tebal sikap konsumtifnya lekas terlihat dari demo-demo yang isinya menuntut dan menuntut. Jadi mental ketergantungan. Dinaikkan sedikit, protes. Tersenggol haknya, teriak. Bisanya hanya menuntut dan meminta, tidak bekerja. Manja. Tersinggung, ngamuk. Bangsa yang tidak tahan banting. Rapuh.

Bangsa yang begini tak akan awet lama.

Jakob Sumardjo Esais

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/22/opini/2145895.htm