Sunday, July 24, 2005

Catatan Mohamad Sobary

Minggu, 24 Juli 2005

ASAL USUL : Pohon Ketulusan

Mohamad Sobary

Seorang lelaki tua selalu menghabiskan malam-malamnya untuk beribadah dan pada siang harinya tak ada yang ia lakukan kecuali berdoa.

Malaikat penjaga berbisik kepadanya, ”Pergilah, karena doa-doamu tak diterima di pintu (ampunan) ini.”

Lelaki tua itu tak peduli. Ia tetap gigih menghabiskan waktunya untuk terus beribadah. Seorang muridnya berkata, ”Ketika engkau melihat pintunya tertutup, mengapa engkau tak mendorongnya saja?”

”Oh, anakku, apakah engkau mengira hanya karena ia melepaskan kekangku lalu aku akan melepaskan genggamanku dari tali pelananya? Ketika doa ditolak di satu pintu, kita tak perlu khawatir karena masih ada pintu lain,” katanya penuh keyakinan dan sikap tulus.

Pada saat ia mengucapkan kata-kata itu sambil dalam posisi bersujud, malaikat turun membawa jawaban Tuhan.

”Meskipun tak ada kebaikan pada dirinya, doanya diterima karena ia tak punya tempat lain untuk berlindung selain kepada-Ku.”

Inilah nukilan pengalaman ahli ibadah yang saya petik dari ”Kisah-kisah di Taman Bunga” saduran dari ”Bustan”, buah renungan mistikus besar Syeikh Sa’di Syirazi.

”Apa arti orang tua ini bagi kita?”

Dia kita anggap pembawa racun kemalasan, karena meniupkan kebekuan hidup, semacam opium of the people dan karena itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya?

Ataukah ia guru bijak sekaligus tabib terkemuka yang datang membawa sejenis ramuan atau rumus yang bisa menjadi inspirasi mengubah secara mendasar kehidupan kita?

Sejenak saya merasa agak bimbang. Sebagian dari kita gigih membela pendirian bahwa hidup itu bekerja, bahwa makna doa terletak dalam kerja, dan bahwa arti pengabdian terletak pula dalam kerja. Kerja itu ibadah dan ibadah sejati itu kerja, kerja, dan kerja.

Sebagian dari kita pendeknya mencemooh mereka yang mengisi hidup, tarikan napas, keluhan dan syukur, tangis, dan suka citanya dengan doa. Di sini doa dianggap kemalasan. Doa dipandang kebekuan hidup karena hidup harus ”mencair” dalam kerja karena kerja pula yang mengubah nasib dan mengubah dunia.

Bagi sebagian yang lain yang tulus dan teruji imannya, hidup ini doa. Kita hakikatnya hanya sekeping jiwa telanjang yang dari detik ke detik hanya bisa meminta dengan kerendahan peminta-minta sejati. Dan, apakah itu namanya, bila bukan doa? Hidup itu doa.

Ada contoh lain dari seorang kiai saleh di Jawa Tengah, yang lembut tutur katanya, serta bijak pandangan dan tingkah lakunya. Ia pedagang, tetapi di depan orang banyak sering menyampaikan sikap hidupnya dengan membuat tamsil bahwa manusia hakikatnya tak lebih dari peminta-minta di hadapan Tuhan.

Bila pemilik toko akhirnya terketuk hatinya melihat peminta-minta yang sabar berjongkok di depan tokonya, apa lagi Tuhan, Maha Raja Diraja dalam urusan belas kasih dan kemurahan hati.

”Tuhan tak akan tega membiarkan tangis yang keluar dari kedalaman jiwa kita berlalu tanpa jawaban,” katanya lembut.

”Maka, sekali lagi, apa arti kakek tua dalam kisah mistikus besar tersebut bagi kita di sini, sekarang?”

Saya punya jawabnya: kisah itu tak bermaksud mempertentangkan antara mereka yang mengutamakan kerja dan mereka yang menomorsatukan doa.

Saya kira, mistikus besar itu hendak menyodorkan kepada kita arti ketulusan hidup, tulus kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan. Dengan kata lain, orang tua itu cermin simbolis ketulusan.

Ketulusan mempunyai kekuatan seperti udara. Ia bisa bertiup dari satu tempat ke tempat lain tanpa terasa, tetapi kita merasakan hasilnya. Ketulusan selalu membawa rasa damai.

Di sini ketulusan bukan semata urusan psikologi. Memang benar, mulanya ia tumbuh sebagai gejala kejiwaan. Ia berkembang dalam pribadi seorang anak berkat orangtua, cermin super ego keluarga, gigih menyemaikan benih ketulusan itu ke dalam jiwa sang anak.

Di sekolah, benih itu disirami sang guru dan dipupuk serta ditambahi variasi lain yang menjadi bibit unggul. Di masyarakat, bibit unggul itu mendapat penguatan lebih besar.

Dan, tumbuhlah ia sebagai pohon ketulusan yang lebih kuat. Apalagi bila si anak juga mempunyai guru lain yang membesarkan pertumbuhan spiritualnya.

Maka, anak akan menjadi lebih penting ketika berorganisasi dan mempersembahkan ketulusannya di dalam pengabdian bagi orang banyak. Pengabdian yang dijiwai ketulusan akan membangun basis sosial dan politik yang lebih adil di dalam masyarakat.

Di NU, di Muhammadiyah, di Persis, di dunia Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, atau dalam satuan kebudayaan lain, ketulusan hadir untuk menata, bukan mendominasi, memberi inspirasi mengenai cara hidup lebih bijak.

Dengan begitu ia bukan hanya menjadi perekat bangsa, melainkan juga menjadi guru, sekaligus tabib, yang menyirami jiwa yang gersang dan penuh nafsu perang dan saling menghancurkan. Pohon ketulusan datang untuk meniupkan napas segar di tengah kesumpekan kita sekarang.

sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/24/persona/1916188.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home