Saturday, October 22, 2005

catatan JAKOB SUMARDJO

Sabtu, 22 Oktober 2005

Koruptor dan Politik Konsumtif


Banyak orang tidak suka apabila dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia. Barangkali korupsi memang bukan kebudayaan, namun merajarelanya korupsi itu didasari oleh kebudayaan tertentu.

Kebudayaan tak lain adalah cara berpikir kolektif. Dan cara berpikir kita selama ini adalah konsumtif, bukan produktif. Cara berpikir konsumtif ini sudah kita mulai sejak masa kolonial dulu.

Coba kalau Anda bertemu seorang teman lama, pertanyaannya adalah kerja di mana?. Jadi, kategori bekerja itu selalu berarti menjadi pegawai di mana. Sejak masa kolonial arti bekerja itu ya semacam itu. Kalau Anda membuka usaha sendiri di rumah, dan sukses besar, maka Anda agak malu-malu menyatakan bahwa tidak bekerja. Untuk menutupi harga diri, maka akan dikatakan bahwa Anda wiraswasta. Kata wiraswasta itu sebuah eufimisme untuk menutupi aib budaya kita karena tidak menjadi pegawai di mana pun.

Indonesia itu memang negara pegawai. Meskipun orang hanya menduduki jabatan pegawai paling rendah sekalipun, secara budaya ia menyelamatkan mukanya dari publik. Bahkan orang mau menyogok dengan gaji pegawainya selama satu tahun atau dua tahun, asal diterima sebagai pegawai negeri. Padahal di rumah ia membuka usaha sendiri yang keuntungannya tiap hari mungkin sama dengan satu tahun gaji pegawai negeri rendahan itu.

Pegawai, orang kantoran, pejabat adalah status sosial. Hubungannya dengan karakter konsumtif adalah bahwa setiap bulan akan menerima gaji, entah kerjanya keras, setengah keras, malas-malasan, atau sering mangkir kantor. Semua akan dapat makan sampai akhir bulan. Etos kerja sama sekali tidak ada. Ya, untuk apa, Pak, kerja keras di kantor, gaji kita segitu-segitu saja. Nah, yang namanya etos kerja itu baru muncul kalau ada proyek-proyek, Pak. Kalau ada proyek, kita kerja lembur siang malam, tidak tidur juga mau. Ibaratnya kita bekerja membanting tulang betul-betul.

Masa ketergantungan

Sudah lama kita ini bukan manusia produktif, manusia yang mau kerja keras. Kita sudah lupa pidato-pidato Bung Karno zaman Orde Lama dulu yang menganjurkan bangsanya untuk berdiri di atas kaki sendiri alias berdikar. Karena Bung Karno pernah salah dan orang salah tak perperlu lagi didengarkan pikirannya. Kemandirian kita campakkan dan mulailah masa ketergantungan.

Maunya kita tergantung dari bantuan luar negeri untuk dapat mandiri berdikari. Namun, dasar negara pegawai, maka sikap konsumtif keparat itu tetap saja lekat. Dalam derasnya aliran bantuan dan pinjaman luar negeri, hujan proyek membanjiri kantor-kantor pemerintah. Dan kesibukan luar biasa, kerja lembur sampai pagi, adalah pemandangan umum di mana- mana. Tetapi, kerja keras yang seolah-olah produktif ini sebenarnya konsumtif kuadrat. Mereka kerja keras bukan demi etos kerja keras, tetapi demi proyek. Bagi kantor-kantor yang tidak kebagian proyek, ya bekerja berdasarkan cuaca hati saja, toh sebulannya menerima sejumlah itu saja.

Dilihat secara ini, sebenarnya setiap pegawai di Indonesia berpotensi menjadi koruptor, kecuali yang benar-benar keras imannya, atau mereka yang produktif dengan usaha wiraswastanya sendiri sambil menutupi gengsi sosialnya sebagai pegawai. Golongan terakhir ini akan berpikir, buat apa korupsi kalau penghasilan saya jauh lebih besar dari yang akan saya korup.

Orang konsumtif itu benalu, sukanya mengisap daya hidup yang lain. Orang konsumtif juga resiprokal, menerapkan hukum timbal balik, kalau saya memberi banyak, saya harus memperoleh lebih banyak. Orang konsumtif itu tidak mengenal arti hemat dan menyimpan, kerjanya menghabiskan melulu. Boros. Egoistis. Rasa gengsinya gede. Orang konsumtif tidak mengenal arti solidaritas, paling banter hanya kolektivitas.

Politik konsumtif

Manusia produktif berbalikan dengan karakter-karakter itu. Karena berpikirnya hanya menghasilkan yang lebih banyak, lebih baik, lebih bermutu, maka elan persaingannya bangkit kuat. Orang produktif selalu menawarkan nilai jual. Orang produktif berorientasi produk, dalam arti mau miskin dulu asal kalau kelak berhasil. Orang produktif tentu hemat penuh perhitungan dalam pengeluaran. Boro-boro hidup boros.

Manusia produktif itu pasti mengandalkan pada kemampuan dirinya sendiri. Orang begini belajar tentang hidup terus- menerus. Manusia produktif pasti akan membenci koruptor karena manusia begini yang membikin kapal bocor.

Korupsi di dunia Indonesia ini tidak akan berhenti selama mentalitas konsumtif kita tidak lenyap. Bantuan BBM untuk penduduk miskin adalah politik konsumtif. Seharusnya bantuan BBM itu untuk proyek produktif.

Presiden memang menganjurkan rakyat untuk bekerja keras. Ada dua arti kerja keras di Indonesia, kerja keras konsumtif dan kerja keras produktif. Kerja keras konsumtif itu etos kerja kaum koruptor, membanting tulang siang-malam demi menghabiskan dana proyek. Bahkan kalau tidak ada proyek resmi, mereka kreatif membikin proyek-proyek sendiri. Bagi para pejabat, kreativitas bikin proyek-proyek pribadi atau kolektif ini sering menghasilkan kejutan-kejutan tak terduga.

Kerja keras produktif itu lain lagi. Orang bersedia melarat, miskin, menjuali miliknya, demi modal kerja keras menuju kesuksesan yang masih tanda tanya. Orang produktif meskipun mengandalkan potensi diri, solidaritasnya kuat karena sukses itu tergantung pada konteks. Kerja keras produktif itu hanya mungkin kalau manusia-manusia konsumtif lenyap dari bumi Indonesia.

Bahwa bangsa ini masih tebal sikap konsumtifnya lekas terlihat dari demo-demo yang isinya menuntut dan menuntut. Jadi mental ketergantungan. Dinaikkan sedikit, protes. Tersenggol haknya, teriak. Bisanya hanya menuntut dan meminta, tidak bekerja. Manja. Tersinggung, ngamuk. Bangsa yang tidak tahan banting. Rapuh.

Bangsa yang begini tak akan awet lama.

Jakob Sumardjo Esais

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/22/opini/2145895.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home